Sabtu, 07 Januari 2012

Konsep Nilai-nilai Kearifan Lokal



Kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai suatu sintesa budaya yang diciptakan oleh aktor-aktor lokal melalui proses yang berulang-ulang, melalui internalisasi dan interpretasi ajaran agama dan budaya yang disosialisasikan dalam bentuk norma-norma dan dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat. Kearifan lokal merupakan tata aturan tak tertulis yang menjadi acuan masyarakat yang meliputi seluruh aspek kehidupan, berupa (1) tata aturan yang menyangkut hubungan antar sesama manusia, misalnya dalam interaksi sosial baik antar individu maupun kelompok, yang berkaitan dengan hirarkhi dalam kepemerintahan dan adat, aturan perkawinan, tata karma dalam kehidupan sehari-hari; (2) tata aturan menyangkut hubungan manusia dengan alam, binatang, tumbuh-tumbuhan yang lebih bertujuan pada upaya konservasi alam; (3) tata aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan yang gaib, misalnya Tuhan dan roh-roh gaib. Kearifan lokal dapat berupa adat istiadat, institusi, kata-kata bijak, pepatah.
Dilihat dari keasliannya, kearifan lokal bisa dalam bentuk aslinya maupun dalam bentuk reka cipta ulang (institutional development) yaitu memperbaharui institusi-institusi lama yang pernah berfungsi dengan baik dan dalam upaya membangun tradisi, yaitu membangun seperangkat institusi adat-istiadat yang pernah berfungsi dengan baik dalam memenuhi kebutuhan sosial-politik tertentu pada suatu masa tertentu, yang terus menerus direvisi dan direkacipta ulang sesuai dengan perubahan kebutuhan sosial-politik dalam masyarakat. Perubahan ini harus dilakukan oleh masyarakat lokal itu sendiri, dengan melibatkan unsur pemerintah dan unsur non-pemerintah, dengan kombinasi pendekatan top-down dan bottom-up.
Kearifan lokal merupakan salah satu produk kebudayaan. Sebagai produk kebudayaan, kearifan lokal lahir karena kebutuhan akan nilai, norma dan aturan yang menjadi model untuk (model for) melakukan suatu tindakan. Kearifan lokal merupakan salah satu sumber pengetahuan (kebudayaan) masyarakat, ada dalam tradisi dan sejarah, dalam pendidikan formal dan informal, seni, agama dan interpretasi kreatif lainnya. Diskursus kebudayaan memungkinkan pertukaran secara terus menerus segala macam ide dan penafsirannya yang meniscayakan tersedianya referensi untuk komunikasi dan identifikasi diri. Ketika gelombang modernisasi, globalisasi melanda seluruh bagian dunia, maka referensi yang berupa nilai, symbol, pemikiran mengalami penilaian ulang. Ada pranata yang tetap bertahan (stabil), tetapi tidak sedikit yang berubah, sedang membentuk dan dibentuk oleh proses sosial. (HARMONI, Jurnal Multikultural dan Multireligius, Volume IX, Nomor 34, 2010).
Kearifan lokal atau sering disebut lokal wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian di atas, disusun secara etimologi, di mana wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom sering diartikan sebagai ‘kearifan/kebijaksanaan’.
Lokal secara spesifik menunjuk pada ruang interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas pula. Sebagai ruang interaksi yang sudah didesain sedemikian rupa yang di dalamnya melibatkan suatu pola-pola hubungan antara manusia dengan manusia atau manusia dengan lingkungan fisiknya. Pola interaksi yang sudah terdesain tersebut disebut settting. Setting adalah sebuah ruang interaksi tempat seseorang dapat menyusun hubungan-hubungan face to face dalam lingkungannya. Sebuah setting kehidupan yang sudah terbentuk secara langsung akan memproduksi nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut yang akan menjadi landasan hubungan mereka atau menjadi acuan tingkah-laku mereka.
Menurut Koentjaraningrat, Kearifan lokal memiliki dimensi sosial dan budaya yang kuat, karena memang lahir dari aktivitas perlakuan berpola manusia dalam kehidupan masyarakat. Kearifan lokal dapat menjelma dalam berbagai bentuk seperti ide, gagasan, nilai, norma, dan peraturan dalam ranah kebudayaan, sedangkan dalam kehidupan sosial dapat berupa sistem religious, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian hidup dan sistem teknologi dan peralatan.(Ringkasan Kajian Kearifan Lokal, 2006)
Keraf (2002), mengatakan bahwa kearifan lokal/tradisional adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman, atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yanag menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Dijelaskan pula bahwa kearifan lokal/tradisional merupakan bagian dari etika dan moralitas yang membantu manusia untuk menjawab pertanyaan moral apa yang harus dilakukan, bagaimana harus bertindak khususnya di bidang pengelolaan lingkungan dan sumberdaya .(Ringkasan Kajian Kearifan Lokal, 2006)
Selain itu, Kearifan lokal merupakan pengetahuan yang eksplisit yang muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. Proses evolusi yang begitu panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai sumber energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan damai. Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak sekadar sebagai acuan tingkah-laku seseorang, tetapi lebih jauh, yaitu mampu mendinamisasi kehidupan masyarakat yang penuh keadaban.
Secara substansial, kearifan lokal adalah nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertingkah-laku sehari-hari masyarakat setempat. Oleh karena itu, sangat beralasan jika Greertz mengatakan bahwa kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. Hal itu berarti kearifan lokal yang di dalamnya berisi unsur kecerdasan kreativitas dan pengetahuan lokal dari para elit dan masyarakatnya adalah yang menentukan dalam pembangunan peradaban masyarakatnya.
Untuk memahami bagaimana kearifan lokal berkembang dan tetap bertahan, maka perlu pemahaman dasar mengenai proses-proses kejiwaan yang membangun dan mempertahankannya. Proses-proses itu meliputi pemilihan perhatian (selective attention), penilaian (appraisal), pembentukan dan kategorisasi konsep (concept formation and categorization), atribusi-atribusi (attributions), emotion, dan memory. Adapun penjelasan lebih lanjut mengenai proses-proses di atas sebagai berikut.
a)    Selective Attention
Dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang pasti selalu berhadapan dengan banyak stimulus sehingga para ahli jiwa sepakat bahwa semua stimulus tidak mungkin untuk diproses. Oleh karena itu, individu dalam menghadapi banyaknya stimulus tersebut akan melakukan apa yang disebut sebagai selective attention. Selective attention merupakan proses tempat seseorang melakukan penyaringan terhadap stimulus yang dianggap sesuai atau yang mampu menyentuh perasaan. Oleh karena kapasitas sistem sensasi dan perseptual kita terbatas, maka harus belajar bagaimana caranya membatasi jumlah informasi yang kita terima dan diproses.
Terkait dengan proses pembentukan kearifan lokal, maka proses pemilihan perhatian menyediakan mekanisme kejiwaan untuk membatasi informasi-informasi yang diterima dan diproses. Dalam kehidupan pesantren, terdapat banyak informasi-informasi ajaran-ajaran mengenai tata cara berperilaku santri yang berasal dari kitab-kitab kuning. Oleh karena kapasitas sistem sensasi dan perseptual kita terbatas, maka kita perlu membatasi informasi-informasi yang masuk dengan menetapkan beberapa informasi untuk kita terima, misalnya Prakarsa yaitu kemampuan pegawai untuk mengambil keputusan langkah-langkah  atau melaksanakan semua tindakan yang diperlukan dalam melaksanakan tugas pokok tanpa menunggu perintah dari pimpinan.
b)    Appraisal
Beberapa stimulasi yang telah dipilih secara konstan akan dinilai. Penilaian merupakan proses evaluasi terhadap stimulus yang dianggap memiliki arti bagi kehidupan seseorang dan yang mampu menimbulkan reaksi-reaksi emosional. Hasil penilaian ini adalah keputusan yang berupa respon-respon individu, yang oleh Lazarus disebut coping (penyesuaian). Proses ini relevan dengan terbentuknya pengetahuan atau kearifan lokal karena pemilihan terhadap informasi yang masuk lebih menekankan pada pertimbangan berguna bagi kehidupan mereka.
Terkait dengan pembentukan dan berkembangnya kearifan lokal ini, maka proses appraisal ini menyediakan sebuah mekanisme kejiwaan di mana kita secara aktif menilai informasi yang masuk dan kita proses hanya yang bermakna bagi kita. Misalnya, Prestasi Kerja yaitu hasil kerja yang dicapai oleh pegawai dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya. Pada umumnya, prestasi kerja dipengaruhi oleh kecakapan, pengalaman dan kesungguhan PNS yang bersangkutan.
c)    Concept Formation and Categorization
Dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang menghadapi stimulus yang banyak dan tidak mungkin diikuti semuanya. Semua orang, benda-benda, tempat-tempat, kejadian-kejadian, dan aktivitas yang kita alami tidak mungkin dapat diterima dan disajikan oleh pikiran kita dalam sebuah unit informasi yang bebas. Oleh karena itu, melalui mekanisme kejiwaan dibuat gambaran mental yang digunakan untuk menjelaskan benda-benda, tempat-tempat, kejidian-kejadian, dan aktivitas yang kita alami yang kemudian disebut konsep. Melalui konsep-konsep seseorang dapat mengevaluasi informasi-informasi, membuat keputusan-keputusan, dan bertindak berdasarkan konsep tersebut.
Kategorisasi adalah proses tempat konsep-konsep psikologis dikelompokkan. Studi mengenai pembentukan kategori melibatkan pengujian bagaimana seseorang mengklasifikasikan peristiwa-peristiwa, benda-benda, aktivitas-aktivitas ke dalam konsep-konsep. Pembentukan konsep dan kategorisasi memberikan cara untuk mengatur perbedaan dunia sekeliling kita menjadi sejumlah kategori-kategori tertentu. Kategori-kategori tersebut didasarkan pada sifat-sifat tertentu dan objek yang kita rasa atau serupa secara kejiwaan.
Terkait dengan pembentukan dan berkembangan kearifan lokal, maka pada bagian pembentukan konsep dan kategorisasi ini menyediakan kepada kita cara-cara untuk mengorganisasikan perbedaan ajaran-ajaran tingkah-laku yang ada di sekitar kita ke dalam sejumlah kategori berdasarkan kepentingan tertentu. Misalnya kesetian yaitu tekad dan kesanggupan untuk mentaati, melaksanakan dan mengamalkan sesuatu yang ditaati dengan penuh kesabaran dan tanggungjawab. Sikap ini dapat dilihat dari perilaku sehari-hari serta perbuatan pegawai dalam melaksanakan tugas.
d)    Attributions
Satu karakteristik umum dari manusia adalah perasaan butuh untuk menerangkan sebab-sebab peristiwa dan perilaku yang terjadi. Attributions yang menjadi satu karakter diri yang menggambarkan proses mental untuk menghubungkan (membuat pertalaian) antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya atau satu perilaku dengan perilaku atau peristiwa lainnya. Attribution ini membantu kita untuk menyesuaikan informasi baru mengenai dunianya dan membantu mengatasi ketidaksesuaian antara cara baru dengan cara lama dalam memahami sesuatu.
Terkait dengan pembentukan dan berkembangannya kearifan lokal, maka pada bagian attribution ini menyediakan fungsi-fungsi penting dalam kehidupan kita untuk mengorganisasikan informasi-informasi yang bermakna bagi kita secara kejiwaan dengan mengontrol antara intention (niat) dengan perilaku. Misalnya ketaatan yaitu kesanggupan pegawai untuk mentaati segala peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku, mentaati perintah kedinasan yang diberikan oleh atasan yang berwenang-wenang serta kesanggupan untuk tidak melanggar aturan yang telah ditentukan.
e)    Emotion
Emosi adalah motivator yang paling penting dari perilaku kita yang dapat mendorong seseorang untuk lari jika takut dan memukul jika sedang marah. Emosi adalah perangkat penting yang terbaca untuk memberitahu kepada kita cara untuk menginterpretasikan peristiwa dan situasi di sekeliling kita pada saat kita melihatnya.
Terkait dengan pembentukan dan berkembangannya kearifan lokal, maka pada bagian emotion ini menyediakan kepada kita dorongan-dorongan untuk melakukan sesuatu sesuai kebutuhan kita. Misalnya tanggungjawab yaitu kesanggupan pegawai dalam menyelesaikan pekerjaan tugas yang diserahkan kepadanya dengan sebaik-baiknya dan tepat pada waktunya serta berani menanggung resiko atas keputusan yang telah diambil atau tindakan yang dilakukannya.
Semua proses kejiwaan di atas, merupakan proses yang saling berinteraksi satu sama lain sehingga dapat digambarkan rangkaian kejiwaan pembentukan dan berkembanganya kepatuhan. Kepatuhan sebagai informasi umum menjadi informasi khusus, yaitu kepatuhan sebagai sistem motivator nilai dalam diri santri untuk melakukan aktivitas-aktivitas selama di pesantren. Kepatuhan sebagai bantuk kearifan lokal yang berlaku di pesantren dapat menjadi energi potensial untuk proses transfer dan internalisasi nilai-nilai keislaman melalui kiai sebagai model yang dipatuhi. (Jurnal Studi Islam dan Budaya ‘Ibda` Vol. 5 No. 1, 2009

Di dalam kehidupan masyarakat Bugis Makassar terdapat nilai-nilai sosial yang membentuk kearifan lokal (local wisdom) dan telah dianut serta menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, yaitu 

  • Saling Menghargai (Sipakatau)

Saling Menghargai adalah konsep yang memandang setiap manusia sebagai manusia. Sipakatau yang bermakna saling menghargai sebagai individu yang bermartabat. Nilai-nilai Sipakatau menunjukkan bahwa budaya Bugis-Makassar memposisikan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang mulia dan oleh karenanya harus dihargai dan diperlakukan secara baik. Semangat ini mendorong tumbuhnya sikap dan tindakan yang diimplementasikan dalam hubungan sosial yang harmonis yang ditandai oleh adanya hubungan intersubyektifitas dan saling menghargai sebagai sesama manusia. Penghargaan terhadap sesama manusia menjadi landasan utama dalam membangun hubungan yang harmonis antarsesama manusia serta rasa saling menghormati terhadap keberadaban dan jati diri bagi setiap anggota kelompok masyarakat. 

  • Konsep Nilai Sipakatau

Dalam budaya Bugis-Makassar Nilai-nilai Sipakatau memposisikan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang mulia dan oleh karenanya harus dihargai dan diperlakukan secara baik yang diimplementasikan dalam hubungan sosial yang harmonis yang ditandai oleh adanya hubungan intersubyektifitas dan saling menghargai sebagai sesama pegawai maupun pegawai dengan atasan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang berwibawa. Sipakatau (Saling Menghargai) adalah sebagai individu yang bermartabat. (Mashadi, 2007).

  • Harga Diri/Rasa malu dan Perikemanusian (Siri'na pacce)
Dalam pengertian harfiahnya, siri’ adalah sama dengan rasa malu. Dan, kata siri’ ini akan berarti harkat (value), martabat (dignity), kehormatan (honour), dan harga diri (high respect) apabila dilihat dari makna kulturalnya. Jadi, perlu dibedakan pengertian harfiahnya dengan pengertian kulturalnya. Bagi orang Bugis-Makassar, pengertian kulturalnya itulah yang lebih menonjol dalam kehidupan sehari-hari apabila dia menyebut perkataan siri’ karena siri’ adalah dirinya sendiri. Siri’ ialah soal malu yang erat hubungannya dengan harkat, martabat, kehormatan, dan harga diri sebagai seorang manusia.
Pacce’ dalam pengertian harfiahnya berarti “ pedih “, dalam makna kulturalnya pacce berarti juga belas kasih, perikemanusiaan, rasa turut prihatin, berhasrat membantu, humanisme universal. Jadi, pacce’ adalah perasaan (pernyataan) solidaritas yang terbit dari dalam kalbu yang dapat merangsang kepada suatu tindakan. Ini merupakan etos (sikap hidup) orang Bugis-Makassar sebagai pernyataan moralnya. Pacce’ diarahkan keluar dari dirinya, sedangkan siri’ diarahkan kedalam dirinya. Siri’ dan pacce’ inilah yang mengarahkan tingkah laku masyarakatnya dalam pergaulan sehari-hari sebagai “motor“ penggerak dalam memanifestasikan pola-pola kebudayaan dan sistem sosialnya.
  1. Pengertian siri’
Dalam pengertian harfiahnya, siri’ adalah sama dengan rasa malu. Dan, kata siri’ ini akan berarti harkat (value), martabat (dignity), kehormatan (honour), dan harga diri (high respect) apabila dilihat dari makna kulturalnya. Jadi, perlu dibedakan pengertian harfiahnya dengan pengertian kulturalnya. Bagi orang Bugis-Makassar, pengertian kulturalnya itulah yang lebih menonjol dalam kehidupan sehari-hari apabila dia menyebut perkataan siri’ karena siri’ adalah dirinya sendiri. Siri’ ialah soal malu yang erat hubungannya dengan harkat, martabat, kehormatan, dan harga diri sebagai seorang manusia.
Siri’ lebih sebagai sesuatu yang dirasakan bersama dan merupakan bentuk solidaritas. Hal ini dapat menjadi motif penggerak penting kehidupan sosial dan pendorong tercapainya suatu prestasi sosial masyarakat Bugis-Makassar. Itulah sebabnya mengapa banyak intelektual Bugis cenderung memuji siri’ sebagai suatu kebajikan. Mereka hanya mencela apa yang mereka katakan sebagai bentuk penerapan siri’ yang salah sasaran. Menurut mereka, siri’ seharusnya dan biasanya, memang seiring sejalan dengan pacce’ (Makassar) / pesse (Bugis).
  1. Pengertian pacce
Pacce’ dalam pengertian harfiahnya berarti “pedih“, dalam makna kulturalnya pacce berarti juga belas kasih, perikemanusiaan, rasa turut prihatin, berhasrat membantu, humanisme universal. Jadi, pacce’ adalah perasaan (pernyataan) solidaritas yang terbit dari dalam kalbu yang dpaat merangsang kepada suatu tindakan. Ini merupakan etos (sikap hidup) orang Bugis-Makassar sebagai pernyataan moralnya. Pacce’ diarahkan keluar dari dirinya, sedangkan siri’ diarahkan kedalam dirinya. Siri’ dan pacce’ inilah yang mengarahkan tingkah laku masyarakatnya dalam pergaulan sehari-hari sebagai “motor“ penggerak dalam memanifestasikan pola-pola kebudayaan dan sistem sosialnya.
Melalui latar belakang pokok hidup siri’ na pacce’ inilah yang menjadi pola-pola tingkah lakunya dalam berpikir, merasa, bertindak, dan melaksanakan aktivitas dalam membangun dirinya menjadi seorang manusia. Juga dalam hubungan sesama manusia dalam masyarakat. Antara siri’ dan pacce’ saling terjalin dalam hubungan kehidupannya, saling mengisi, dan tidak dapat dipisahkan yang satu dari lainnya. (Mashadi, 2007).
Dengan memahami makna dari siri’ dan pacce’, ada hal positif yang dapat diambil sebagai konsep pembentukan hukum nasional, di mana dalam falsafah ini betapa dijunjungnya nilai-nilai kemanusiaan – berlaku adil pada diri sendiri dan terhadap sesama – bagaimana hidup dengan tetap memperhatikan kepentingan orang lain. Membandingkan konsep siri’ dan pacce’ini dengan pandangan keadilan Plato (428-348 SM) yang mengamati bahwa keadilan hanya merupakan kepentingan yang lebih kuat (justice is but the interest of the stronger).
Nilai adalah hal yang yang sangat dibutuhkan dalam setiap aspek kehidupan dan dalam konteks hukum, nilai ini merupakan sesuatu yang menjadi landasan atau acuan dalam penegakan hukum, nilai ini hidup dalam suatu masyarakat dan menjadi falsafah hidup dalam masyarakat tertentu. Masyarkat Bugis mempunyai falsafah hidup yang sangat dijunjungnya yaitu siri’ na pacce’.
Siri’ na pacce’ dalam masyarakat Bugis sangat dijunjung tinggi sebagai falsafah dalam segala aspek kehidupan, dan hal ini juga berlaku dalam aspek ketaatan masyakarat terhadap aturan tertentu (hukum), dengan pemahaman terhadap nilai (siri’ na pacce’) ini sangat mempengaruhi masyakarat dalam kehidupan hukumnya.
Siri’ yang merupakan konsep kesadaran hukum dan falsafah masyarakat Bugis-Makassar adalah sesuatu yang dianggap sakral. Siri’ na Pacce (Bahasa Makassar) atau Siri’ na Pesse’ (Bahasa Bugis) adalah dua kata yang tidak dapat dipisahkan dari karakter orang Bugis-Makassar dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Begitu sakralnya kata itu, sehingga apabila seseorang kehilangan Siri’nya atau De’ni gaga Siri’na, maka tak ada lagi artinya dia menempuh kehidupan sebagai manusia. Bahkan orang Bugis-Makassar berpendapat kalau mereka itu sirupai olo’ kolo’e (seperti binatang). Petuah Bugis berkata : Siri’mi Narituo (karena malu kita hidup).
Dengan adanya falsafah dan ideologi Siri’ na pacce/pesse, maka keterikatan dan kesetiakawanan di antara mereka mejadi kuat, baik sesama suku maupun dengan suku yang lain.
Konsep Siri’ na Pacce/pesse bukan hanya di kenal oleh kedua suku ini, tetapi juga suku-suku lain yang menghuni daratan Sulawesi, seperti Mandar dan Tator. Hanya saja kosa katanya yang berbeda, tapi ideologi dan falsafahnya memiliki kesamaan dalam berinteraksi.

1 komentar:

  1. The new Vegas casino is now $2 bln up to $100
    The Vegas Review-Journal reports 군산 출장안마 that a new casino 영천 출장샵 at Bellagio and Encore, named The 부산광역 출장샵 Cosmopolitan of Las 남양주 출장안마 Vegas in 2020, has 시흥 출장샵 begun construction.

    BalasHapus