1)
Konsep
Monitoring dan Evaluasi
Monitoring
adalah suatu kegiatan
observasi yang berlangsung terus menerus untuk memastikan dan mengendalikan
keserasian pelaksanaan program dengan perencanaan yang telah ditetapkan.
Evaluasi
adalah suatu teknik penilaian
kualitas program yang dilakukan secara berkala melalui metode yang tepat.
Aspek
monitoring dan evaluasi diharapkan dapat mengidentifikasi manfaat dan dampak
suatu aktivitas dan produk riset, baik bagi lingkungan internal maupun
eksternalnya.
Monitoring dan evaluasi adalah
suatu tahapan yang sangat penting dalam keseluruhan siklus kegiatan, karena
keberhasilan dan efektifitasnya sangat menentukan dalam usaha pencapaian hasil
akhir kegiatan. Oleh karena itu merupakan suatu kesalahan besar bila susunan
perencanaan kegiatan tidak ada monitoring dan evaluasinya.
Korelasi Monitoring dan Evaluasi, Evaluasi berbeda daripada monitoring, tapi relatif
sangat dekat. Keduanya,
monitoring dan evaluasi adalah alat manajemen. Pada
kasus di dalam monitoring, informasi untuk mengetahui
kemajuan menurut yang disetujui sebelumnya di dalam rencana
dan jadwal rutin yang dikumpulkan. Ketidakcocokan antara aktual dengan pelaksanaan yang direncanakan haruslah
dilakukan identifikasi dan koreksi.
Monitoring
dan Evaluasi bertugas:
a. Melakukan pengawasan, penilaian dan
pemeriksaan atas rencana,
pelaksanaan dan pengendalian program
pembangunan politik di Indonesia;
b. Melakukan evaluasi desain kebijakan,
proses dan kualitas pendataan, serta efektivitas pelaksanaan program dalam
rangka perbaikan kebijakan program pembangunan politik di Indonesia;
c. Merumuskan strategi dan langkah-langkah
yang terkoordinasi, cepat dan terintegrasi, untuk mengatasi hambatan-hambatan
dalam pelaksanaan program pembangunan politik di Indonesia;
d. Menerima, menelaah dan menindaklanjuti
pengaduan yang disampaikan oleh masyarakat sehubungan dengan pelaksanaan
program program pembangunan politik di Indonesia.
2)
Konsep
Politik
Politik adalah hal yang terkait langsung dengan kehidupan
manusia. Pada intinya politik adalah seni untuk mengelola setiap bagian dari
diri manusia. Mempelajari politik berarti membedah, memahami dan menerapkan
seni pengelolaan hidup manusia. Sebagaimana prinsip seni lainnya, politik dapat
dibentuk disiplin ilmunya sehingga dapat dipelajari secara sistematis dan
disusun pedomannya.
3)
Konsep
Pendidikan Politik
Pendidikan dan politik adalah dua elemen yang sangat penting
dalam system sosial politik disetiap Negara, baik Negara maju maupun Negara
berkembang. Keduanya sering dilihat sebagai bagian yang terpisah dan tidak
memiliki hubungan apa-apa, tetapi keduanya saling menunjang dan saling mengisi.
Lembaga-lembaga dan proses pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku
politik masyarakat di Negara tersebut. Begitu juga sebaliknya, lembaga -
lembaga dan proses politik di suatu Negara membawa dampak besar pada
karakteristik pendidikan disuatu Negara tersebut.
Pendidikan politik adalah aktivitas yang bertujuan untuk
membentuk dan menumbuhkan orientasi-orientasi politik pada indvidu. Ia meliputi
keyakinan konsep yang meiliki muatan politis, meliputi juga loyalitas dan
perasaan politik serta pengetahuan dan wawasan politik yang menyebabkan
seseorang memiliki kesadaran terhadap persoalan politik dan sikap politik. Di
samping itu, ia bertujuan agar setiap individu mampu memberikan partisipasi
politik yang aktif di masyarakatnya. Pendidikan politik merupakan aktivitas
yang terus berlanjut sepanjang hidup manusia dan itu tidak mungkin terwujud
secara utuk kecuali dalam sebuah masyarakat yang bebas.
Pendidikan politik
dipahami sebagai perbuatan memberi latihan, ajaran, serta bimbingan untuk
mengembangkan kapasitas dan potensi diri manusia, melalui proses dialogik yang
dilakukan dengan suka rela antara pemberi dan penerima pesan secara rutin,
sehingga para penerima pesan dapat memiliki kesadaran berdemokrasi dalam
kehidupan bernegara.
Definisi
pendidikan politik ini mengandung tiga anasir penting, yakni: Pertama, adanya perbuatan memberi
latihan, ajaran, serta bimbingan untuk mengembangkan kapasitas dan potensi diri
manusia. Kedua, perbuatan di maksud
harus melalui proses dialogik yang dilakukan dengan suka rela antara pemberi
dan penerima pesan secara rutin. Ketiga, perbuatan tersebut ditujukan untuk
para penerima pesan dapat memiliki kesadaran berdemokrasi dalam kehidupan
bernegara.Pada konteks Indonesia, pelaksanaan pendidikan politik tidak bisa
begitu saja diharapkan atau diserahkan kepada pemerintah, sebab: Pertama, berdasarkan pengalaman rezim
yang pernah berkuasa di Indonesia, belum ada indikasi kuat bahwa pemerintah
yang sementara berkuasa, akan konsisten untuk melaksanakan pendidikan politik. Kedua, pemerintahan Indonesia yang di
”komandoi” oleh duet SBY-BOEDIONO hingga saat ini, belum mampu melahirkan suatu
kebijakan penting dalam hal pendidikan politik bagi warga negara. Itu berarti,
pendidikan politik, paling tidak untuk masa transisi (Baca: transisi dari rezim
otoritarian menuju rezim yang demokratis) sekarang ini, akan lebih efektif dan
maksimal jika dilaksanakan oleh organisasi-organisa si masyarakat sipil.
Untuk melihat secara lebih
teliti pendidikan politik bangsa ini yang buruk bisa dicermati dari tiga poin
penting, yakni (1) peristiwa politik, (2) elite politik, dan (3) partai
politik. Ketiga poin tersebut sangat berpengaruh bagi baik buruknya pendidikan
politik di negeri ini.
a.
Peristiwa
politik
Peristiwa politik sebagai
sebuah kenyataan yang berpengaruh bagi pendidikan politik bangsa seharusnya
menunjukkan fenomena demokratis. Sehingga demokratisasi di tingkat warga negara
berjalan dengan mengambil makna peristiwa politik yang demokratis. Akan tetapi,
peristiwa politik Indonesia justru berulang kali mengingkari demokrasi.
Pengingkaran demokrasi ini bisa dicatat, misalnya, pada saat kinerja politik
Soekarno mulai otoriter (mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan
pembubaran Konstituante). Peristiwa ini disebut pengingkaran demokrasi karena
menunjukkan, kedaulatan rakyat ada di tangan presiden. Peristiwa ini bagi
pendidikan politik bangsa adalah buruk.
Peristiwa politik berikutnya
adalah naiknya Soeharto menjadi presiden tanpa proses demokratis dan dengan
sejarah berda-rah (G30S) yang sampai kini sejarah tersebut masih mengundang
banyak tanya. Inilah awal Orde Baru yang kemudian membangun sejarah gelap demokrasi
Indonesia. Gelapnya demokrasi ini berjalan hingga 32 tahun. Peristiwa politik
ini bagi pendidikan politik bangsa adalah buruk.
Runtuhnya rezim Orde Baru dan
diserahkan pada BJ Habibie adalah juga peristiwa politik yang mengingkari
demokrasi. Soeharto menyerahkan kekuasaannya tanpa sebuah pertanggungjawaban.
Pertanggungjawaban seorang presiden adalah keharusan dalam negara demokrasi.
Peristiwa politik ini bagi pendidikan politik bangsa adalah buruk. Terpilihnya
Abdurrahman Wahid menjadi presiden pun adalah peristiwa politik yang
mengingkari demokrasi. Sebab naiknya Abdurrahman Wahid berarti melukai hati
rakyat partai politik pemenang pemilu.
Peristiwa-peristiwa politik
yang mengingkari demokrasi tersebut sesungguhnya tanpa disadari telah
menanamkan dendam-dendam politik (luka hati sebagian rakyat Indonesia) yang
pada akhirnya selalu menimbulkan persoalan dalam menjalankan demokrasi di
Indonesia. Dengan demikian, pendidikan politik bangsa ini hakikatnya telah
dinodai. Warga negara berulang kali menyaksikan peristiwa politik yang
mengingkari demokrasi. Ini adalah pendidikan politik yang buruk bagi warga
negara.
b.
Elite
politik
Elite politik yang dimaksud di
sini adalah salah satu elite yang dikemukakan Pareto, yaitu elite yang
memerintah (SP Varma, Modern Political Theory, 1975). Elite politik ini dalam
sejarah sering kali memainkan peran yang amat menentukan. Pernyataan elite
politik bisa membius emosi dan pikiran rakyat. Karenanya bagi proses pendidikan
politik bangsa, elite politik bisa menjadi lokomotif bagi jalannya demokrasi di
sebuah negara. Di Indonesia hal tersebut cukup sulit terjadi.
Kesulitan-kesulitan tersebut
tampak dari contoh mutakhir perilaku elite politik Indonesia (Abdurrahman
Wahid, Megawati Soekarnoputri, Amien Rais, Akbar Tandjung). Emosional dan tidak
konsisten adalah perilaku yang ditampilkan mereka dalam mengelola negara ini.
Perilaku yang emosional dan tidak konsisten ini tampak dari trik-trik politik
di antara mereka yang tidak konstruktif (cara merespon kasus Ambon, pencabutan
Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966, pencopotan Laksamana Sukardi dan Jusuf
Kalla, kasus Banser di Jawa Pos) sampai keengganan mereka melaksanakan agenda
reformasi total (KKN Soeharto dan sebagainya) yang digagas mahasiswa. Bahkan
tragedi Trisakti dan Semanggi pun sampai kini pengusutannya tidak jelas.
Padahal mereka sebelumnya mengaku reformis.
Perilaku elite politik demikian
adalah pendidikan politik yang buruk bagi warga negara. Warga negara kesulitan
memastikan sebuah kebenaran dan memaknai keadilan.
c.
Partai
politik
Salah satu fungsi partai
politik adalah sosialisasi politik (Gabriel A Almond, Comparative Politics
Today, 1974). Sosialisasi politik partai selain memiliki makna sosialisasi
kepentingan partai politik juga dimaksudkan dalam kerangka upaya demokratisasi.
Sehingga partai politik juga turut memberi kontribusi besar bagi upaya
pendidikan politik menuju demokrasi.
Jikalau kita mengamati
perkembangan partai politik Indonesia mutakhir maka fungsi sosialisasi politik
tersebut berubah menjadi "provokasi politik". Hampir setiap partai
politik di Indonesia membuat bulletin atau tabloid yang isinya provokasi.
Dendam dan kebencian ditanamkan pada rakyat. Sehingga setelah membaca bulletin
atau tabloid yang muncul dibenak pembaca adalah kebencian dan dendam antarsesama.
Bukannya semangat untuk menghargai perbedaan. Ini adalah pendidikan politik
yang buruk bagi warga negara.
Selain fungsi sosialisasi
politik, partai politik menurut Almond juga memiliki fungsi komunikasi politik.
Fungsi komunikasi politik ini dimaksudkan untuk menyampaikan ide atau
gagasan-gagasan partai politik melalui media massa maupun media elektronik.
Sehingga masyarakat merespon gagasan-gagasan partai politik. Komunikasi politik
tersebut penting bagi upaya pendidikan politik menuju demokrasi.
Partai politik Indonesia saat
ini memiliki kecenderungan tidak menampilkan gagasan-gagasan partai tetapi
menunjukkan dengan gamblang praktik-praktik politik yang tidak demokratis dan
konflik elite partai politik yang tidak konstruktif bagi jalannya demokrasi.
Sebut saja, misalnya, pada saat Kongres I Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
di Semarang, Kongres I Partai Amanat Nasional di Yogyakarta, dan Muktamar I
Partai Bulan Bintang di Jakarta, yang menunjukkan praktik dan konflik elite
partai politik yang tidak konstruktif. Bahkan konflik elite partai politik
tersebut sampai tulisan ini dibuat masih mewarnai berita di sejumlah media
massa. Ini adalah pendidikan politik yang buruk bagi warga negara.
Selain fungsi partai yang
menampilkan pendidikan politik yang buruk. Partai politik di Indonesia secara
tidak sadar atau mungkin sadar telah membuka ruang militerisme di tubuh partai
(satuan tugas-satuan tugas yang memang dilatih secara militer). Militerisme di
tubuh partai ini berlawanan dengan semangat demokrasi. Satgas-satgas partai
sering menampilkan militerisme di hadapan publik, misalnya, dengan cara
kekerasan mengamankan pemimpin partai. Tampilan militerisme partai di depan
publik ini adalah pendidikan politik yang buruk, karena dengan cara seperti itu
tampak partai politik melegitimasi militerisme.
4)
Minimnya Pendidikan Politik dan Dampaknya pada Krisis
Demokrasi
Politik
adalah hal yang terkait langsung dengan kehidupan manusia. Pada intinya politik
adalah seni untuk mengelola setiap bagian dari diri manusia. Mempelajari
politik berarti membedah, memahami dan menerapkan seni pengelolaan hidup
manusia. Sebagaimana prinsip seni lainnya, politik dapat dibentuk disiplin
ilmunya sehingga dapat dipelajari secara sistematis dan disusun pedomannya. Sayangnya
pendidikan politik di negeri ini masih didominasi oleh organisasi-organisasi
sosial politik dan menjadi bidang studi elit di beberapa jurusan di perguruan
tinggi. Sehingga sangat wajar jika masih banyak anggota masyarakat kita yang
belum memahami hak-hak politiknya secara baik dan menyampaikan aspirasinya secara
benar dalam konteks hukum.
Memang
sangat menyedihkan jika melihat kondisi yang ada sekarang. Dengan tingginya
praktek politik uang, pengumpulan massa secara besar-besaran dan rendahnya
kualitas keilmuan serta wawasan para anggota legislatif dari tingkat daerah
hingga pusat merupakan salah satu indikator. Hal Tersebut. tentunya menjadi
semacam alasan kuat bagi elit-elit politik yang tergabung dalam
organisasi-organisasi sosial politik untuk mengklaim bahwa kaderisasi serta
pendidikan perpolitikan hanya bisa diselenggarakan secara baik dan benar
melalui partai politik. Hal tersebut terkesan konyol dan sombong. Namun di sisi
lain minimnya pendidikan politik di lembaga-lembaga pendidikan juga memberikan
semacam dukungan atas klaim tersebut.
Selain
itu proses pembelajaran perpolitikan sendiri berjalan separuh-separuh dan tidak
menyatu dengan disiplin keilmuan lainnya. Kondisi tersebut tentunya menciptakan
jurang pemahaman dan penerapan praktis atas politik yang beretika, benar dan efektif.
Dimana hal tersebut akan mengancam pula sistem demokrasi yang terkelola dengan
baik dan etis, bukan diselenggarakan secara anarkis serta dikuasai segelintir
elit otoriter yang merasa memiliki hak untuk melindungi rakyat dari demokrasi
itu sendiri.
Bahkan
Socrates sendiri sudah memberikan peringatan bahaya demokrasi tanpa pendidikan
politik etis yang baik dan benar. Bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan
merupakan dogma berbahaya di lingkungan yang tidak dikendalikan sistem kepemimpinan
yang bijak dan berwawasan. Jangan sampai demokrasi mati hanya karena rendahnya
ilmu politik yang beretika dan berwawasan hukum yang benar. Serta tentu saja
yang paling penting adalah kesejahteraan sosial yang adil dan beradab harus
dapat terwujud dalam kerangka demokrasi yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan
melalui aktivitas diskusi yang etis.
Oleh karena itu, pemantapan
penerapan pendidikan politik dinilai akan semakin memperkuat karakter bangsa.
Sebab, pendidikan politik akan memperdalam kesadaran tentang makna kearifan dan
sikap bijak dalam membangun, mengembangkan, dan menjunjung tinggi demokrasi.
Dimana dalam pemantapan pendidikan politik ada tiga hal yang harus dilakukan.
Pertama, perbaikan struktur. Kedua, percepatan proses pendewasaan politik. Ketiga,
pembangunan budaya politik. Sehingga orang bisa memandang politik itu sebagai
sebuah kearifan, dan politisi dimaknai sebagai orang yang bijak. Jadi, bukan
sebaliknya.
Berdasarkan tradisi yang sudah mengakar
selama berabad-abad, bangsa Indonesia memiliki basis kultur yang bijak, arif
dan adil sehingga kita sangat familiar dengan sikap tenggang rasa dan berlaku
adil. contohnya, menjadi bangsa yang demokratis, sudah cukup lama didambakan
rakyat Indonesia. Identifikasi harapan demokrasi tersebut, sesungguhnya bisa
dilihat pada konstitusi RI yang menuangkan bahasa demokrasi seperti
"kedaulatan rakyat", "suara terbanyak",
"berserikat", dan "kebebasan menyatakan pendapat". Ini
sejalan dengan kehendak ideal pendidikan politik. Yakni, melahirkan demokrasi
menjadi kenyataan empiris yang membumi pada setiap warga negara. Hingga warga
negara terlibat dalam penjagaan demokrasi yang dihasilkan dari pendidikan
politik itu.
Arah
pendidikan politik sesungguhnya adalah demokrasi itu sendiri. Kesadaran politik
warga harus ditumbuhkan dengan proses pendidikan. Warga dapat melihat gambaran
bahwa untuk memperjuangkan kepentingannya, ada berbagai kepentingan di luar
dirinya yang harus diperhatikan, baik itu kepentingan hukum maupun kepentingan
dari warga lainnya. Oleh karena itu, pemahaman masyarakat bahwa nilai moral
berupa kearifan dan kesantunan politik, perlu segera ditanamkan dan
diaplikasikan ke dalam dunia pendidikan dan kehidupan sehari-hari.
Kebererhasilan menanamkan nilai-nilai kearifan politik ke dalam ranah pemikiran
warga, sudah merupakan sukses tersendiri bagi sebuah bangsa. Pendidikan politik
tidak harus sekadar teori. Pembelajaran dalam sikap dan perilaku sehari-hari,
baik di rumah dan di lingkungan lainnya, adalah pelajaran politik yang sangat
berharga.
B.
KESIMPULAN
1)
Saran
dan Rekomendasi
Sebenarnya ada harapan
yang begitu besar terhadap generasi penerus bangsa ini untuk siap meneruskan
tongkat estafet kekuasaan. Pada hakikatnya politik bukan untuk ditakuti
atau dijauhi selayaknya barang haram. Politik hanya perlu dibersihkan dari
hal-hal yang bersifat negatif. Politik bukan identik dengan kelicikan dan
penipuan. Politik juga bukan ekspresi penindasan dan ketidakadilan. Semua citra
negatif yang terbangun harus diminimalisir. Politik harus tetap membangun
eksistensi moralitasnya sendiri. Politik bagaimanapun juga tidak bisa
dilepaskan begitu saja dari nilai-nilai kemanusiaan. Baik pemilih pemula secara
khusus maupun masyarakat secara umum harus diletakkan sebagai subjek politik.
Semoga bangsa ini akan menuai generasi penerus yang memiliki kesadaran
berpolitik tanpa meninggalkan hati nurani sebagai manusia. Tetap kritis
dengan sikap dan ide yang tetap konstruktif. Akhirnya bangsa ini akan mampu
mewujudkan kehidupan yang lebih layak.
Sejumlah peristiwa politik,
perilaku elite politik, dan partai politik yang dikemukakan di atas adalah
kenyataan politik Indonesia. Ketiga hal tersebut di atas sesungguhnya secara
tidak langsung maupun langsung telah mendidik watak politik warga negara.
Sungguh hal tersebut sangat disesalkan. Sebab telah mengeluarkan ongkos sosial
yang amat besar. Kerugian material maupun nonmaterial (pendidikan politik warga
negara) sangat besar. Akan tetapi, jika hal tersebut dianggap lumrah (Begitu
aja kok repot!) berarti tuan-tuan elite politik sepakat untuk terus
melanggengkan pendidikan politik yang buruk. Karenanya jangan heran jika
mahasiswa dan rakyat yang tertindas akan terus bergerak.
Untuk
menumbuhkan dan atau meningkatkan partisipasi politik yang otonom dari setiap
warga negara, maka pelaksanaan pendidikan politik yang baik dan benar, mutlak
diperlukan. Pelaksanaan pendidikan politik ini, selain dapat dilakukan oleh
pemerintah melalui lembaga-lembaga pendidikan formal yang ada, juga bisa
dilaksanakan secara non-formal oleh organisasi-organisasi masyarakat sipil.
C.
DAFTAR
PUSTAKA
¨ Sumber
: http://blog-indonesia.com/ Konsep
Monitoring dan Evaluasi Diposkan oleh FAQ
Diakses Tanggal 15 Januari 2011 Pukul 08:39 PM
¨ Sumber
: http://multiply.com/ Partai
Politik Vs Pendidikan Politik Diposkan oleh Roebyanto Diakses Tanggal 15
Januari 2011 Pukul 08:29 PM
¨ Sumber
: http://setiabudi.name/ Minimnya Pendidikan Politik Etis Formal dan Dampaknya
pada Krisis Demokrasi, Diposkan
oleh Setiabudi Diakses Tanggal 15 Januari 2011 Pukul 08:31 PM
¨ Sumber : http://bataviase.co.id/
Pemantapan Pendidikan Politik Perkuat
Karakter Bangsa, Diposkan oleh Yudhiarma/Victor
AS Diakses Sabtu, 15 Januari 2011, Pukul 07:35 PM
¨ Sumber
: http://www.kompas.com/kompas cetak / 0006 / 21 / opini / pend45.htm Pendidikan Politik yang Buruk,
Diposkan Oleh Ubedilah Badrun Diakses
Pada Tanggal 15 Januari 2011 Pukul 08:15 PM
¨ Sumber
: http://www.sumbawanews.com/ Parpol
Dan Pelaksanaan Pendidikan Politik, Diposkan Oleh. Paul Sinlaeloe - Aktivis Piar NTT Diakses Pada Tanggal 15 Januari
2011 Pukul 07:56 PM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar